L.A.T.S


PENDEKATAN BUDAYA USAHA PERTAMBANGAN UNTUK  "KRIK SELAMAT TAU KE TANA SAMAWA"

Disampaikan dalam Seminar Pertambangan
22 Januari 2012 Wisma Daerah Sumbawa

Oleh : Sultan Muhammad Kaharuddin IV

Lembaga Adat Tana Samawa adalah wujud kecerdasan,  kesadaran, kehendak, dan cita-cita menyeluruh tau/masyarakat Sumbawa (sekarang: Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat) yang berjuang untuk  melestarikan kekayaan peradaban / kebudayaan Samawa dan menjadikannya sebagai pedoman tatanan hidup dan kehidupan Tau ke Tana Samawa.
Kebudayaan akan selalu berubah seperti air mengalir  karena  dipegaruhi oleh tekhnologi, kebutuhan masyarakat, informasi, tingkat kesejahteraan sehingga kebudyaan sangat berhubungan dengan alam, wadah tanah air dan udara serta seluruh yang kekayaan  di dalamnya.  Demikian pula kebudayaan dalam arti luas, nilai-nilai serta peninggalan sejarah sebagai milik sah dari masyarakat Tau dan Tana Samawa perlu dipertahankan kelestariannya, diwariskan, dan dikembangkan dalam konteks nasionalisme karena Tau Tana Samawa beserta budaya / kebudayaannya  merupakan bagian integral dari masyarakat bangsa Indonesia.
Kehidupan masyarakat masa kini semakin majemuk memerlukan terciptanya bingkai penyatuan berbagai unsur kebhinekaan dalam konteks kesamawaan sehingga tercipta masyarakat Sumbawa yang disebut sebagai Tau Samawa yaitu mereka yang memiliki komitmen tinggi untuk membangun Tana Samawa menuju masyarakat religius, modern, dan demokratis dengan tetap mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai budaya dan kebudayaan sendiri sebagai masyarakat berperadaban. Yang dimaksud dengan tau ke tana samawa adalah seluruh masyarakat yang  berdomisili di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat darimanapun asal sukunya (tau samawa berasal dari suku madura, tau samawa yang bersal dari suku bugis, tau samawa dari suku bali, sasak dsb).
Bagi tau Samawa dunia pertambangan logam baru di mulai sejak PT NNT melakukan ekploitasi tembaga dan Emas di Batu Hijau yang sekarang sudah menjadi Kabupaten Sumbawa Barat. Sedangkan pertambangan rakyat/tradisonal  baru mulai tahun 2009 dengan ditemukannya deposit emas dibukit labaung, yang selanjutnya menyusul pertambangan rakyat di wilayah Lantung, plampang, sumbawa barat dll. Sebelumnya kita hanya mengenal pertambangan non logam (batu, besi dan tanah urugan).
Dalam proses pembangunan dan industrialisasi yang mengalienasikan,  penduduk lokal umumnya cenderung menjadi korban persekutuan antara modal dan kekuasaan politik. Studi yang dilakukan FISIP Unair (2004 dan 2010) menemukan adanya indikasi bahwa investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (hutan, tambang, dan laut) demi akumulasi modal tidak saja telah melahirkan proses perubahan sosial-budaya dan kesenjangan sosial, tetapi juga menyebabkan munculnya keresahan, bahkan resistensi sosial penduduk lokal yang teralienasi dari proses pembangunan yang sedang berlangsung di wilayahnya.
Usaha pertambangan merupakan usaha yang membutuhkan inevestasi yang besar/mahal, sehingga dapat dijadikan salah satu faktor perubahan bagi pri kehidupan tau ke tanah samawa. Sebagai faktor perubahan, maka pertambangan harus dapat menunjukakkan bahwa kita akan berubah ke arah mana? Apakah kita akan semakin sejahtera karena telah menpunyai modal dalam pengelola pembangunan,  atau menjadi miskin karena sumber daya alam terkekruk tanpa dapat dimanfaatkan di lokal atau indonesia?
Bagi lembaga adat tana Samawa, pertanyaan tersebut menimbulkan keinginan untuk meminta kepada seluruh perusahaan/rakyat yang melaksanakan usaha pertambangan agar melakukan pendekatan kebudayaan dalam mesejahterakan dan mengembangkan SDMnya. Pedekatan kebudayaan merupakan sistem dalam menjadikan perusahaan dan atau pengusaha dalam melaksanakan kegiatannya mengutamakan nilai-nilai adat yang dianut dan dijaga oleh masyarakat setempat.
Untuk dapat dapat menyelami sistem  pendekatan kebudayaan akan efektif jika kita menjadi bagian dari adat wilayah tersebut, Jika kita berusaha di sumbawa maka kita menjadi orang/tau sumbawa. Pendekatan ini akan menjadikan PT NNT sebagai perusahaan   sumbawa bukan perusahaan Amerika, SJR  menjadi  perusahaan sumbawa, bukan perusahaan jakarta, begitu pula dengan perusahaan tambang atau dunia usaha lainnya, harus menjadi bagian dari lokal.
”Fenomena pengusaha Tau Samawa yang berasal dari etnis Tionghoa, cukup bagus untuk dicermati, mereka sangat pase  menggunakan bahasa samawa, bahkan dalam perayaan perkawinan mereka menggunakan baju adat Samawa, begitu pula dengan pengusaha tau samawa yang beras; dari suku madura, mereka dengan ikhlas mengganti nama sotonya menjadi soto ”Samawa Madura” dan itu diresmikan oleh tokoh Madura bapak Mahfud MD”.  Hal ini akan menimbulkan rasa bangga menjadi orang Sumbawa.
Investasi bukan  menjadi bagian dari sumber komplik dalam masyarakat tau ke tanah samawa, dan semua kekayaan yang diambil dari perut tana samawa adalah kekayaan bersama ”Tau ke Tana Samawa”, sehingga tidak ada sekat atau friksi dalam lokal sumbawa.  investasi yang berlandaskan culture atau melindungi adat  akan membawa masyarakat menjadi sejahtera, saling hargai, saling satingi, saling pedi sehingga tercapai tujuan bahwa kekayaan sumbawa adalah untuk ”Krik Selamat Tau Ke Tana Samawa”. Tau Samawa adalah satu ”Sopo si tau Samawa” mereka adalah bagian dari yang lainnya.
Harapan LATS  terhadap investasi adalah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan SDM dan mendapat modal pembangunan yang mandiri dan berkalanjutan
Adat tau samawa adalah Adat barenti ko syara” syara’ barenti ko Kitabullah, artinya memelihara adat bagi tau Samawa adalah memelihara agama begitu pula sebaliknya, memilhara agama mengandung arti memlihara alam dan seisinya mengingat manusia di takdirkan untuk menjadi khalifa di atas muka bumi ini oleh sebab itu setiap investasi juga harus dilaksanakan dengan pendekatan culture dengan mengedapankan adat- istiadat.

Sumbawa, 21 Januari 2011